Rabu, 02 Desember 2009

MA Tak Perbolehkan Pelaksanaan UN

Suasana ujian di SMAN I Baturetno, Wonogiri - Jawa Tengah

Para pengamat pendidikan sependapat bahwa pemerintah harus kembali ke sistem kelulusan yang lama, menyusul keputusan Mahkamah Agung yang menyatakan Ujian Nasional (UN) cacat hukum.
Banyak pendapat; Ujian Nasional harus ada, tetapi jangan dijadikan tolok-ukur kelulusan, tetapi merupakan pemetaan pendidikan. Berikut tanggapan M Bakri BK, Ketua Umum LSM "Poros Pendidikan" di Jakarta kepada Radio Nederland Wereldomroep tentang kemelut UN tersebut.
Pro kontra UN
M Bakri [MB]: Masalah UN ini memang sudah berapa lama ini menjadi polemik, jadi masalah pro-kontra di masyarakat juga. Mahkamah Agung menerima gugatan dari korban UN  dan ada beberapa organisasi menggugat pemerintah, dan MA juga sudah memutuskan bahwa itu dibatalkanlah, boleh dikatakan ; harus ditinjau kembali UN itu.
Problem sebenarnya adalah Ujian Nasional ini jadi tolok-ukur kelulusan siswa.  Yang mana kalau berbicara masalah  Ujian Nasional yang berlaku di negeri ini, dia harus melihat bahwa setiap daerah kan tidak sama. Umpamanya daerah DKI Jakarta Raya dan di Irian Jaya, di Papua itu akan berbeda. Berbeda dari aspek murid-murid, siswanya, juga kita lihat bahwa sarana dan pra-sarananya ini tidak mendukung.
Jadi siswa dituntut untuk mencapai standarisasi nilai, dan juga jadi standard kelulusan mereka, tapi sarana dan pro-sarana mereka itu tidak menunjang. Jadi seharusnya pemerintah menyiapkan dulu sarana-pra-sarana untuk mencapai standarisasi pendidikan itu. Jadi jangan melihat Ujian Nasional itu dari hasilnya. Tapi melihat prosesnya juga.
Ini kan juga dari segi pelanggaran hak azasi kepada anak-anak  ini juga terjadi. Jadi problemnya, Ujian Nasional itu silahkan dilaksanakan, dan yang penting sarana dan pra-sarana untuk mendukung  ke situ,  Ujian Nasional ini tercapai. Itulah yang diharapkan oleh masyarakat dan guru-guru juga begitu.
Malah kemarin dimenangkan oleh MA, itu guru-guru banyak yang bersyukur.  Jadi ini memang fenomena yang sangat menarik sekali.
Radio Nederland Wereldomroep [RNW]: Masalah UN ini lebih kena kalau dikatakan; harus disempurnakan. Jadi tidak harus gebyah-uyah begitu maksudnya?
Mutu pendidikan
MB: Ya,  sebenarnya bicara soal UN itu pendidikan harus bermutu. Dan bagaimana kita untuk memajukan bangsa dan negara ini, kalau tidak diawali oleh pendidikan. Dan pendidikan  itu harus bermutu itu, saya pikir itu merupakan konsep yang benar. Yang jadi problem sekarang ini di Ujian Nasional ini. Soal Ujian Nasional ini kan sama. Umpamanya di daerah DKI, di daerah yang lain, itu sama, dan standarisasinya berbeda.
Jadi proses sarana dan pra-sarana itu yang dibenahi dulu. Masyarakat meminta itu dibenahi dulu. Malah ada kasus di suatu provinsi itu banyak yang gak lulus, karena ternyata ada kebocoran soal. Kebocoran soal itu, ternyata soalnya ditukar lagi oleh panitia, akhirnya berbeda dengan rumusan jawaban. Sehingga akhirnya banyak yang gak lulus. Nah ini kan banyak terjadi kecurangan-kecurangan  untuk mencapai kelulusan.
Dan pemerintah daerah, dinas-dinas pendidikan di daerah ingin berharap di wilayahnya itu banyak yang lulus. Tapi karena fenomena seperti itu, terjadilah banyak kecurangan.
Jadi Ujian Nasional itu baik untuk meningkatkan mutu, tapi untuk meningkatkan mutu itu kan harus ada sarana dan pra-sarana untuk mencapai proses itu didukung.
RNW: Apa yang anda sebut sebagai sarana dan pra-sarana apakah termasuk mutu para guru atau para pengajar yang memberikan pendidikan kepada para siswa dan murid?
Kwalitas guru
MB: Ya, jadi guru juga harus ditingkatkan kwalitasnya, karena ini juga faktor utama. Nah ini variabelnya salah satu adalah seperti itu. Dan sarana pra-sarana sekolah penunjang sekolah
dan lain-lain, itu memang problem yang juga harus dilihat oleh pemerintah untuk mencapai hasil yang diinginkan, dan juga harus dilihat prosesnya.
RNW: Sebagai seorang pakar pendidikan, apakah anda melihat pemerintah sudah cukup berbuat banyak untuk mempersiapkan sarana dan pro-sarana ini?
MB: Yang terjadi selama ini di dalam masyarakat ini, bahwa faktor penunjang itu belum mencapai taraf maksimal.

Tidak ada komentar: