Rabu, 02 Desember 2009

Obat Palsu Banjiri Dunia

Enter a description of the photo here 

 

Layanan kesehatan di negara-negara berkembang dibanjiri obat palsu. Obat-obatan ini tidak mengandung zat yang menyembuhkan, atau hanya kapur juga terigu.
Kalau negara-negara Barat terutama mengkhawatirkan obat pelangsing atau Viagra palsu, di negara-negara berkembang banyak orang meninggal dunia akibat tidak beresnya obat-obatan.
Masalah ini terutama melanda Afrika dan beberapa negara Asia. Obat palsu beredar di pasaran bersama obat asli. Orang tidak bisa membedakan lagi yang palsu dari yang asli, kata David Overbosch, direktur Travel Clinic, rumah sakit pelabuhan di Rotterdam. Di Afrika ia pernah memperoleh obat malaria palsu yang sampai hologramnya pun tak bisa dibedakan dari aslinya. Penipuan baru terungkap dalam analisa kimia kapsul bersangkutan.
David Overbosch: "Jika anda benar-benar perlu obat seperti antibiotika atau obat anti malaria, dan jika anda berupaya menyembuhkan anak dengan obat-obatan yang tidak mengandung zat penyembuh, maka penderita akan mati."
Perdagangan gelap
Terkadang terungkap juga sebuah skandal. Misalnya setelah puluhan anak Haiti meninggal akibat minum obat batuk beracun. Kadang-kadang praktek gelap macam ini juga menerobos masuk Eropa. Awal tahun ini douane Britania menyita pil anti skizofrenia buatan Cina, dikirim pada asuransi kesehatan Britania.
Tidak jelas berapa orang yang meninggal akibat obat palsu. Di Afrika saja jumlahnya bisa mencapai ribuan orang, pertahun. Lebih dari itu, obat yang buruk menyebabkan kekebalan di pihak pasien. Ia bisa mengidap penyakit yang tidak tersembuhkan lagi oleh obat apapun.
Keamanan
Yayasan IDA, lembaga internasional yang memperjuangkan layanan kesehatan murah di negara-negara berkembang, tengah mengembangkan laboratorium berjalan. Di sini apotik dan dinas kesehatan bisa menguji obat-obatan yang diragukan keasliannya, kata Maarten Neve dari IDA Foundation.
Maarten Neeve: "Kami memulai gagasan baru menguji obat-obatan tertentu sehingga bisa memastikan kualitasnya. Selama obat-obatan itu masih berada di tangan kami, kami bisa menjamin kualitasnya. Tapi kami juga menganggapnya sebagai tugas kami menyusun program untuk mencegah beredarnya obat-obatan palsu. Kami punya teknologinya. Sangat rumit membuktikan kualitas obat-obatan tertentu, jadi kami ingin menaruh perhatian terhadap toko obat penjual obat-obatan serta apotek."

Setengah tahun mendatang uji laboratorium ini harus bisa dilakukan di banyak negara.
Pelacakan
Hanifa Rebbani bekerja untuk Badan PBB pengontrol obat-obatan. Ia mengamati bahwa dunia Barat baru tertarik pada masalah ini dengan munculnya pil Viagra palsu yang dijajakan lewat internet. Tetapi sampai sekarang tidak ada peraturan yang menegaskan pembuatan obat palsu merupakan tindak kriminal.
Hanifa Rebbani: "Menurut hemat saya harus terlebih dahulu ditetapkan bahwa menghasilkan obat palsu merupakan tindak kriminal. Itu langkah pertama. Begitu ditetapkan dan disepakati baru bisa diterapkan sanksi." 

Beberapa negara sekarang merundingkan kesepakatan untuk bisa memerangi obat palsu, apa yang disebut Anti-Couterfeiting Trade Agreement, perjanjian anti perdagangan obat palsu. Rebbani menganggap akan merupakan langkah besar kalau bisa dicapai kesepakatan. Tetapi pelaksanaannya akan sulit, dan siapa yang akan bertugas melacak obat-obat palsu itu?
Tindak kriminal
India dianggap produsen penting obat palsu. Cina berada pada urutan kedua. Pemerintah setempat tidak bisa berbuat banyak, kata dokter David Overbosch dari rumah sakit Travel Clinic. Kepentingannya terlalu besar. Organisasi kesehatan dunia WHO memperkirakan keuntungan perdagangan obat palsu bisa mencapai 55 milyar dolar pertahunnya. Itupun masih perkiraan yang hati-hati.

Tidak ada komentar: